Sabtu, 24 November 2012

Karena Kau Tak Seperti Mereka

Ketika Allah mengizinkan aku untuk mengajukan satu permintaan yang pasti kan Ia penuhi, akan kupinta satu hal padaNya. Satu hal yang mungkin berani kubayar sekalipun dengan nyawaku. Satu pinta yang mungkin takkan pernah terpikirkan oleh siapapun: aku ingin selamanya bersamamu, ibu....... Assalamu’alaikum ibu, semoga kasih sayang Allah selalu bersamamu. Kupinta selalu pada-Nya agar ridho dan rahmat-Nya selalu menyertaimu. Ibu, adakah kau disana merindukan anakmu? Adakah tanganmu yang kini tak lagi kokoh itu rindu akan membelai sebuah kepala yang setiap malam selalu ada dalam pangkuanmu? Ibu, betapa sering hati ini cemburu menatap mereka yang bermanja-manja. Cerita mesra kala mereka jumpa dengan ibunda, kebosanan mereka yang masih diperlakukan seperti anak TK, atau pelukan hangat kala melepas liburan dari kampung halaman. Ibu, pernah suatu kali aku bermimpi menjadi mereka. Menjadi mereka yang bisa hangat bermanja-manja dengan sosok yang sangat dicinta. Namun sayang, Allah tak pernah menciptakan aku sebagai aku, bukan sebagai mereka. Ibu, adakah kau tau anakmu sering menangis mengingatmu? Mengingatmu yang sederhana, apa adanya, dan tak seperti yang ada dalam bayangannya. Mungkin ia selalu bermimpi memiliki seorang ibu yang hebat, kuat, perhatian, dan mampu selalu ada setiap ia butuhkan. Namun kenyataan yang Allah berikan padanya tak seindah bayangan. Ia hanya diberikan seorang wanita yang renta, sederhana, tak tahu apa-apa, dan sangat jauh dari bayangan yang selama ini ia idamkan. Entah berapa kali aku tersedu melihatmu yang tak seperti mereka. Aku iri dengan si A yang setiap bulan ditengok orang tuanya. Aku ingin seperti si B yang setiap malam mendapat telepon dari ibundanya, dan aku mau menjadi si C yang punya sahabat terdekat bernama mama. Tapi ternyata itu semua hanya mimpiku belaka, ibu. Kedatangan itu tak pernah ada, telepon itu tak pernah muncul, dan sahabat terdekat bernama mama itu pun tak pernah ada untukku. Sering aku menangis, mengadu pada-Nya betapa Ia tidak adil padaku. Mengaruniakan seorang ibu yang telah renta lagi tak tahu apa-apa. Ibu, andai saja kau tau betapa sering aku mengeluh kecewa manakala panjang lebar cerita mengalir tapi kau hanya berucap “Sabar nak, hidup itu penuh cobaan”, sambil tersenyum getir seolah empati dengan apa yang sedang kurasakan. Ibu, sering terbersit dalam pikiran kerdilku bahwa kau tak peduli lagi padaku. Mungkin kau anggap anakmu ini telah dewasa, mampu melakukan segalanya sendiri, tanpa harus dibantu. Sering pula aku berpikir jahat bahwa mungkin kau pun tak pernah tau kapan anakmu ini sakit, kapan anakmu ini sedih, bahkan mungkin sekalipun ia tiada kau pun takkan pernah tau karena memang kau tak pernah cari tau. Terlalu renta untukmu memikirkan anakmu, terlalu lelah untukmu selalu memperhatikan anakmu. Oh Allah, betapa durhaka pikiranku ini.....
Ibu, mungkin setan akan terus berbisik dalam pikiran kerdilku ini untuk menjauhkan aku darimu. Menganggapmu jahat, tak peduli, dan tak seperti ibu-ibu lain yang selalu ada untuk anak-anaknya. Setan akan terus membuatku jauh, jauh darimu dan jauh dari-Nya, bila saja tak segera kuputar kembali rol kenangan lalu bersamamu. Bersamamu kala usiaku masih bisa kuhitung dengan jari-jari tangan. Saat-saat dimana Allah masih memberikan kesempatan untukku duduk di pangkuanmu, membenamkan kepalaku dalam pelukanmu, dan menangis merengek-rengek bila kau tak memberiku izin untuk bermain di sungai belakang rumah. Ibu, masih jelas dibenakku bagaimana raut wajahmu kala tau anakmu ini akan pergi untuk beberapa waktu meninggalkanmu demi masa depannya. Antara sedih dan bahagia, tak dapat kubedakan karena kau hanya terdiam. Terdiam dan tersenyum tipis sambil berucap, “Ibu bangga kau akan bisa menjadi orang hebat”. Tepukan lembut di pundak seakan mengisyaratkan berat untukmu melepaskanku. Si manja yang sudah tujuh belas tahun selalu ada di sampingmu itu akan pergi meninggalkanmu untuk beberapa lama. Bukan hal yang mudah untuk kau relakan, kukira. Ibu....sering kudengar cerita kau berdiri mematung di pintu kamar yang kini tak lagi berpenghuni. Menatap sprei putih dan bantal-bantal yang tersusun rapi. Mungkin kau rindu untuk kembali merapikan tempat itu setiap hari seperti dulu. Mungkin kau rindu saat malam tiba dan dengan diam-diam kau menyelimutkan kain di sesosok tubuh yang terbujur pulas. Dan mungkin kau pun juga rindu untuk pagi-pagi kembali mencubit pipi bapao itu agar ia mau terbangun. Oh ibu....adakah kau tau anakmu ini juga merindukan saat-saat itu?..... Ibu....kini yang dapat kau lakukan adalah menantikan saat-saat itu tiba. Saat-saat dimana anak-anak bersorak sorai menyalakan kembang api. Saat-saat yang sangat kau harapkan untukmu dapat kembali menatap sosok yang selama ini kau rindukan. Kutau dalam panjang sujudmu kau selalu mengingat anakmu ini. Mendoakan agar ia selalu sehat, selalu dalam lindungan-Nya, mendapatkan apa yang selama ini ia cita-citakan. Meski tak pernah kau bisikkan itu di telingaku, meski tak pernah kau ungkapkan itu dalam pelukan hangatmu, tapi darah ini selalu berbisik bahwa pemilik darah yang sama tengah menantimu dalam sujud panjang di rumah. Untuk itu lekaslah pulang dan temui ia, sepanjang kesempatan itu masih ada karena semua tak pernah tau kapan Allah akan mengambil kembali kesempatan itu...... Bogor, 4 Desember 2011